Pekanbaru, RM Dugaan kasus perkara pidana pemalsuan surat oleh tersangka Edi Suryanto dan Meryani alias Merry selaku pemilik PT. Duta Swaka...
Pekanbaru, RM
Dugaan kasus perkara pidana pemalsuan surat oleh tersangka Edi Suryanto dan Meryani alias Merry selaku pemilik PT. Duta Swakarya Indah di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, hingga saat ini, statusnya tidak jelas.
Dalam pengamatan Pengurus Yayasan Pemantau Korupsi dan Penyelamat Aset Negara (Y-PETAKORSIPARA) bersama beberapa media bahwa, diduga perkara yang ditangani Penyidik Polda Riau adalah terkait Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) atau Surat Keterangan Riwayat Pengolahan Tanah (SKRPT) seluas 226 Hektar di Tenayan Raya, Kota Pekanbaru.
Lokasi tanah tersebut, dahulu berada di Kelurahan Sail, sekarang berada di Kelurahan Kawasan Industri Tenayan dan Kelurahan Melebung, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru-Riau, yang dimiliki oleh masing-masing tersangka yang berstatus DPO ini sebagaimana Surat Tanah yang diterbitkan aparat Kecamatan Tenayan Raya.
"Berdasarkan informasi di Media Online yang diterbitkan pihak Kepolisian dengan menampilkan foto Edi Suryanto sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO), kami sebagai sosial kontrol sangat meragukan status kedua DPO tersebut,"' kata pengurus Y-PETAKORSIPARA, Zulkifli Ali melalui keterangan tertulisnya kepada media minggu lalu, (11/1/2021).
Sebab, sambung Zul, kasus perkara tindak pidana pemalsuan surat atas nama Edi Suryanto dan Meryani, masing-masing telah dinyatakan lengkap (P-21). Sebagai mana status Meryani sesuai surat Nomor: B-3353/N.4.1/Ep.1/12/2018 tertanggal 18 Desember 2018.
"Sedangkan atas nama Edi Suryanto, sesuai surat Nomor: B-772/N.4.1/Ep.1/02/2019 tertanggal 19 Februari 2019. Kenyataannya, sampai akhir tahun 2020, pihak penyidik Polda Riau tidak menyerahkan tersangka dan Barang Bukti kepada Jaksa Penuntut Umum Kejati Riau," ungkap Zulkifli.
Lebih jauh lagi Zulkifli Ali mengungkapkan bahwa, apa bila diamati kejahatan kehutanan dan penguasaan tanah Negara tanpa prosedur hukum yang berlaku oleh pengusaha-pengusaha yang dahulunya diduga sebagai pengusaha Kayu Alam, secara tidak sah atau illegal yang beralih kegiatan usaha ke bidang Perkebunan Kelapa Sawit secara illegal, sulit untuk diberantas.
Termasuk oknum Aparat Pemerintah yang mencari kesempatan pada usaha tersebut, diduga turut menikmati. Sesuai dengan UU RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Disebutkan untuk seluruh Wilayah Indonesia adalah Kesatuan Tanah Air dari seluruh Rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, dan seluruh Bumi, Air dan Ruang Angkasa termasuk kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan kekayaan Nasional.
Berdasarkan UUD 1945, Pasal 33 disebutkan, dikuasai oleh Negara untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat dalam arti Kebangsaan, Kesejahteraan dan Kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, Berdaulat, Adil dan Makmur.
Dengan demikian, ada batas-batas maksimal yang dapat menjdi Hak Milik perorangan sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada Pasal 16 disebutkan:
Hak atas Tanah adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa. Sedangkan bukti Surat Keterangan Tanah (SKT), SKGR, SKRPT dan sebagainya yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala Desa dan Camat setempat bukan merupakan suatu hak atas Tanah, tetapi hanya sebagai bukti penguasaan Tanah Negara yang diketahui oleh Ketua RT, RW, Lurah dan Camat setempat.
Untuk lebih jelas atau diingat, hak Lurah, Desa dan Camat telah dicabut wewenangnya mengeluarkan Surat Tanah oleh Menteri Kehutanan dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau dan Perda Kabupaten dan Kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sedangkan Lahan / Tanah yang dipersengketakan oleh Merry dan Edi Suryanto, berada dalam kawasan hutan, termasuk kawasan Industri Tenayan Raya yang diperoleh dari Edi alias Aseng selaku pemilik Perkebunan PT. Budi Tani Kembang Jaya (PT. BTKJ) dengan nilai ganti rugi oleh Pemko sebesar Rp. 27.855.262.400 yang bersumber dari dana APBD Kota Pekanbaru Tahun Anggaran 2015.
Akibatnya, sampai Tahun 2018, Badan Pertanahan Nasional Pekanbaru masih menangguhkan untuk menerbitkan Hak atas Tanah Komplek Perkantoran Pemerintah Kota Pekanbaru di Tenayan Raya saat ini.
Berpedoman dari Surat Keputusa Menteri Kehutanan Nomor 173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai Kawasan Hutan.
Berdasarkan penetapan Kawasan Hutan oleh Menteri Kehutanan tersebut, maka Pemerintah Daerah Tingkat I Riau pada Tahun 1994 mengeluarkan Perda Nomor 10 Tahun 1994 tentang RTRW Riau.
Dari Perda tersebut, adalah sebagai acuan Kabupaten/Kota di Riau menyusun RTRW masing-masing sesuai yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah Tingkat I Riau.
Kenapa kawasan Perkebunan PT. Bintan yang terletak di Kecamatan Tenayan Raya tidak dapat diperpanjang Izin HGU nya? Karena PT. Bintan memperoleh HGU pada waktu itu sebeum adanya Perda Nomor 10 Tahun 1994.
Dalam Perda Nomor 10 disebutkan tidak adanya kawasan Perkebunan dalam kawasan Kota Pekanbaru, yang ada hanya kawasan Pertanian dan Peternakan. "Maka habislah HGU PT. Bintan, Perkebunan milik PT. Bintan menjadi milik Negara yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan," ungkap Zulkifli.
Zulkifli Ali menyatakan sikapnya secara tegas bahwa, kasus Edi Suryanto dan Meryani alias Merry akan terus dikawal oleh Lembaga maupun media hingga selesai menjalankan putusan. "Kasus ini tetap kita kawal bersama Media cetak, elektronik dan online.
Jika permasalahan ini tidak tuntas dalam 2 (dua) bulan terakhir di awal Tahun 2021 ini, maka secara bersama-sama kami buat Laporan Resmi beserta Barang-Bukti dan juga menambahkan pihak Pemko Pekanbaru, Pemprov Riau dan Pemerintah Repupblik Indonesia dalam Laporan berikutnya sebagai Tersangka," tegas Zulkifli.
Selama ini, tambahnya lagi, Wakil Rakyat di Pusat maupum Daerah serta para oknum yang suka mengkritisi Pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dalam program Sertifikat Gratis untuk masyarakat, disebut habis Tanah atau Bumi di Indonesia jadi milik pribadi masyarakat.
Kalau mengkritik tanpa memiliki landasan hukum, sama saja Asbun (Asal Bunyi). Dimana program yang dilakukan Pemerintahan Jokowi, adalah untuk menyelamatkan hak-hak masyarakat atas Tanah yang dikelola secara mandiri.
"Sekali lagi kita ingatkan, apa bila kasus PT. DSI serta kasus Edi Suryanto dan Merry tidak tuntas sampai P-21, layak kita menduga Penyidik Polda Riau telah melakukan tindak pidana Korupsi dan Suap atas kasus perkara ini.
Sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dan terakhir UU Nomor 15 Tahun 2002 dan perubahanya atas UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang," pungkas Zulkifli Ali.
Sementara pihak PT. DSI melalui Humasnya, Edy didampingi mantan Direktur Umum, Asun dalam keterangan Pers nya kepada media ini, Senin (11/1/2021) lalu menyampaikan secara singkat bahwa, kasus status DPO Edi Suryanto dan Merry sudah selesai.
"Kasus yang dimaksud Pak Zulkifli Ali terkait status DPO Buk Merry dan Edi Suryanto, sudah lama selesai. Saya sendiri yang menyelesaikan masalahnya. Artinya, kasus itu sudah ditutup, tidak perlu lagi dibicarakan atau di bahas," kata Humas PT. DSI, Edy.
Terkait dengan kasus baik status HGU PT. DSI maupun status DPO Edi Suryanto dan Merry yang ditangani pihak Polda Riau, Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Sunarto yang telah dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp beberapa waktu lalu, hingga saat ini belum memberikan keterangan apa pun. (bersambung...)
Laporan: (Bowo&Tim RM Riau)
COMMENTS